Gabung WHO Pasifik Barat, Indonesia berpeluang tingkatkan layanan kesehatan lansia

Ilham Akhsanu Ridlo, Assistant professor, Universitas Airlangga
5 min lexim
Politikë

● Indonesia bergabung dengan WHO Pasifik Barat menciptakan peluang perbaikan tata kelola layanan kesehatan lansia.

● Caranya dengan mengadaptasi program lansia hingga teknologi diagnostik AI yang telah teruji di negara anggota WPRO.

● Indonesia perlu meningkatkan kapasitas negosiasi global untuk perjuangkan kepentingan kesehatan nasional.


Indonesia resmi menjadi anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Wilayah Pasifik Barat alias WPRO pada Mei 2025. Sebelumnya, negara kita tergabung dalam Wilayah Asia Tenggara WHO (SEARO), yang menjadi wadah kolaborasi kesehatan masyarakat antarnegara berpendapatan rendah dan menengah.

Perpindahan Indonesia ke WPRO (yang dihuni beberapa negara ekonomi maju, seperti Singapura dan Jepang) berpotensi membuka peluang baru bagi kerja sama kesehatan yang lebih inovatif dan berbasis teknologi. Salah satunya soal tata kelola layanan kesehatan lansia yang populasinya terus bertambah di Tanah Air.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 menunjukkan sekitar 12% (lebih dari 33 juta) penduduk Indonesia sudah masuk kategori lansia (60 tahun ke atas). Pada 2045, jumlah ini bisa mencapai 20%, artinya satu dari lima warga merupakan lansia.

Sayangnya, fase penuaan penduduk ini belum diiringi dengan kesiapan sistem kesehatan, jaminan sosial, maupun infrastruktur sosial kita. Bergabung dengan WPRO berpotensi memberikan akses lebih besar bagi Indonesia untuk bertukar pengetahuan, data, pelatihan, dan kebijakan, yang telah terbukti efektif diterapkan oleh negara-negara berpengalaman panjang dalam mengelola populasi menua.

Adaptasi layanan kesehatan lansia negara WPRO

Negara anggota WPRO (seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Singapura) telah mengembangkan model pelayanan inovatif mulai dari rumah sakit ramah lansia, kota inklusif usia, hingga pemanfaatan teknologi untuk layanan perawatan jangka panjang.

Alih-alih memulainya dari nol, kita bisa mengadaptasi model yang telah teruji di negara-negara WPRO, sembari menyesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi dalam negeri.

1. Penuaan sehat berbasis komunitas

Salah satu contoh konkret adalah program healthy ageing (penuaan sehat) berbasis komunitas Jepang dan Singapura. Pendekatan ini menekankan pentingnya integrasi pelayanan kesehatan, keterlibatan sosial, dan lingkungan fisik untuk mendukung lansia agar tetap aktif, mandiri, serta memiliki kesejahteraan fisik dan mental.

Pendekatan ini terbukti menurunkan biaya kesehatan jangka panjang dan meningkatkan kualitas hidup lansia.

2. Integrasi sistem kesehatan digital

Indonesia dapat menyerap teknologi yang telah digunakan anggota WPRO (seperti Jepang dan Korea Selatan). Misalnya, dengan mengintegrasikan teknologi diagnostik berbasis AI dan pemantauan jarak jauh untuk lansia yang tinggal sendiri ke dalam sistem SatuSehat milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Selain membantu mendeteksi gejala awal penyakit degeneratif (penurunan fungsi organ tubuh akibat penuaan), integrasi sistem kesehatan digital bisa mengurangi beban fasilitas kesehatan.

Lebih jauh, kolaborasi ini bisa menjadi jalur modernisasi e-government (layanan kesehatan pemerintah berbasis teknologi) yang nyata.

Sejak 2021, WPRO telah mendorong percepatan sistem kesehatan digital negara anggotanya, mulai dari tata kelola data, interoperabilitas (kemampuan bertukar data), hingga sistem regulasi teknologi medis. Penerapannya dapat dimanfaatkan dalam telemedicine (konsultasi dokter jarak jauh), wearable (perangkat yang dikenakan di tubuh), hingga AI–IoT (teknologi perangkat rumah tangga yang terhubung dengan internet dan kecerdasan buatan).

Indonesia bisa mengadaptasi model ini untuk memperkuat sistem layanan berbasis data, meningkatkan keamanan siber, serta memperluas akses layanan inklusif bagi lansia dan kelompok rentan.


Baca juga: Tanpa uang pensiun dan jaminan hari tua, masih banyak lansia terjerat kemiskinan dan terpaksa bekerja


3. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan

Negara-negara anggota WPRO (misalnya Australia) memiliki kurikulum pelatihan berbasis teknologi dan pendekatan lintas disiplin dalam perawatan lansia. Kerja sama dalam bentuk pelatihan daring, pertukaran profesional, serta pengembangan kurikulum lokal berbasis standar internasional berpotensi meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan Indonesia.

Dengan begitu, tenaga kesehatan kita tidak hanya memiliki keterampilan klinis, tetapi juga piawai memanfaatkan teknologi seperti penggunaan perangkat digital dalam perawatan lansia.

4. Meningkatkan kesiapsiagaan lawan epidemi

Indonesia bisa berkolaborasi dengan negara-negara WPRO (seperti Vietnam dan Korea Selatan) guna mengadopsi praktik terbaik dalam manajemen laboratorium regional, pelatihan tenaga kesehatan khusus epidemi penyakit menular, dan mekanisme koordinasi respons antarnegara yang responsif.

Model kesiapsiagaan menghadapi epidemi sangat berguna bagi lansia. Sebab populasi ini rentan terhadap komplikasi penyakit menular.

Bukan hal yang mudah

Kendati bergabungnya Indonesia ke WRPO berpotensi membawa dampak positif bagi layanan kesehatan lansia di Tanah Air, perubahan keanggotaan regional ini memiliki sejumlah tantangan, di antaranya:

1. Penyesuaian administratif dan kelembagaan

Indonesia harus menyesuaikan mekanisme pelaporan, penganggaran, dan sistem kerja yang sebelumnya terintegrasi dengan SEARO. Hal ini mencakup adaptasi terhadap terminologi, pendekatan teknis, dan struktur koordinasi yang berlaku di WPRO.

Apabila tidak direncanakan secara rinci, transisi ini bisa menimbulkan beban tambahan bagi birokrasi kesehatan nasional.

2. Risiko diplomatik dan persepsi negara lain

Perubahan wilayah dapat menimbulkan kesan bahwa Indonesia mengambil jarak dari negara-negara tetangga di Asia Selatan. Hal ini dapat berdampak pada kerja sama jangka panjang yang sudah dibangun, seperti program pemberantasan penyakit tropis atau aliansi kapasitas darurat.

Komunikasi strategis dan diplomasi sensitif diperlukan agar tidak menimbulkan ketegangan.

3. Kapasitas negosiasi di arena baru

Indonesia harus memastikan kesinambungan program-program yang diprakarsai SEARO sebelumnya, misalnya pengendalian TB, kesehatan ibu, hingga penyakit tropis terabaikan.

Sebab, WPRO memiliki prioritas kebijakan yang berbeda dengan SEARO, seperti teknologi kesehatan dan layanan digital. Indonesia perlu memastikan bahwa isu-isu khas negara kepulauan dan Global South tetap mendapat perhatian.

Tujuannya agar negara kita tidak hanya menjadi penerima agenda regional yang sudah ditetapkan oleh negara-negara dengan kekuatan teknis dan fiskal besar, seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, atau Australia.

Untuk memperjuangkan kepentingan nasional, diperlukan peningkatan kapasitas negosiasi dan diplomasi kesehatan global, baik di level teknokratik maupun politik.


Baca juga: Diplomasi vaksin Indonesia perlu lebih strategis, bukan semata soal stok vaksin


Masuknya Indonesia ke WPRO menandai babak baru dalam diplomasi kesehatan negara ini. Perpindahan regional seharusnya bukan sekadar perubahan administratif dalam struktur WHO, melainkan peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat sistem kesehatan masyarakat di masa depan.

Dengan begitu, bertambahnya populasi menua bukan menjadi beban, tetapi justru jadi alarm untuk menyediakan sistem kesehatan yang adil bagi semua kelompok usia.


The Conversation

Informacion mbi burimin dhe përkthimin

Ky artikull është përkthyer automatikisht në shqip duke përdorur teknologjinë e avancuar të inteligjencës artificiale.

Burimi origjinal: theconversation.com

Ndajeni këtë artikull