Negara mengakui eksistensi ‘sound horeg’: Upaya melindungi atau justru membatasi?
● ‘Sound horeg’ adalah ekspresi sonik akar rumput yang lahir dari kreativitas komunitas lokal.
● Pengakuan negara atas ‘sound horeg’ dapat berujung pada pengendalian dan pembungkaman suara rakyat.
● Masa depan ‘sound horeg’ tergantung pada bagaimana negara memilih untuk memberdayakan atau membatasi.
Suatu malam di pinggiran Kota Malang, suara dentuman low frequency menembus keheningan, menggema hingga beberapa kilometer. Bukan dari konser berizin, bukan dari kelab malam, melainkan dari sebuah praktik sonik jalanan yang kini dikenal sebagai sound horeg.
Sound horeg adalah fenomena bunyi yang lahir dari kreativitas masyarakat akar rumput di Jawa Timur. Namun, lebih dari sekadar genre musik, ia telah menjelma menjadi praktik budaya, bentuk ekspresi, dan bahkan wacana politik.
Dari yang sebelumnya sering dibubarkan oleh aparat karena dianggap mengganggu ketertiban umum, sound horeg kini dipertimbangkan sebagai aset budaya yang layak dilestarikan karena lahir dari kreativitas akar rumput dan menjadi ruang ekspresi bagi komunitas yang tak terjangkau industri musik arus utama.
Bahkan, pada tanggal 9 Mei 2025, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur mengusulkan agar sound horeg dilindungi sebagai kekayaan intelektual.
Sebagai seorang etnomusikolog, saya melihat pengakuan terhadap sound horeg sebagai momen ambigu. Di satu sisi, negara mulai mengakui nilai budayanya. Namun di sisi lain, pengakuan ini juga dapat dibaca sebagai bentuk kontrol simbolik: suara rakyat yang terlalu nyaring kini diatur, dibatasi, bahkan dibungkam—bukan dilindungi.
Mengakui untuk melindungi?
Kebisingan bukan sekadar gangguan yang harus dihapuskan, melainkan sinyal akan hadirnya tatanan baru. Kebisingan membawa informasi, menciptakan makna, dan sering kali menjadi pertanda munculnya perubahan dalam struktur sosial dan budaya.
Pengakuan dari pemerintah atas sound horeg bisa dilihat dari adanya dominasi estetika kelas menengah yang mengatur suasana kota—suara dianggap sah hanya jika rapi, tertib, dan bisa dijual. Di luar itu, ia dianggap bising dan layak dibungkam.
Sebab bebunyian di ruang publik bukan hanya soal volume, melainkan juga tentang siapa yang diizinkan bersuara, dan siapa yang dianggap mengganggu.
Sejarah menunjukkan, kesenian daerah yang dahulu “dilestarikan” di era Orde Baru sering kali “disensor” unsur kritik dan resistensinya. Contohnya, seni tari dan sastra.
Dalam konteks ini, sound horeg bukan sekadar bunyi keras, tetapi ekspresi sonik yang menantang keteraturan dominan. Ia adalah suara yang mengganggu bukan karena volumenya, tetapi karena potensi politiknya: menginterupsi ketertiban estetika, ekonomi, dan kekuasaan yang selama ini menyingkirkan suara dari bawah.
Antara estetika, politik, dan protes warga
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari ketegangan lama antara estetika resmi dan ekspresi rakyat. Sound horeg tidak rapi, tidak tenang, dan tidak tunduk pada norma suara “layak dengar” yang biasanya berlaku di ruang-ruang formal.
Struktur musik dalam sound horeg pun mencerminkan semangat tersebut. Remix koplo dipercepat menjadi semacam techno jalanan. Distorsi tak dihindari, tapi dirayakan.
“Kalau rumah warga kacanya pecah, mereka malah bangga!”,“ kata Sam Brewog, pemilik Brewog Audio. Bagi sebagian komunitas, dentuman bass ekstrem bukan hanya soal hiburan, tetapi juga simbol keberdayaan teknologi dan eksistensi kelas pekerja di ruang publik.
Namun narasi ini tidak lepas dari kontroversi. Banyak warga mengeluhkan gangguan yang ditimbulkan oleh sound horeg, mulai dari kebisingan hingga kerusakan fisik pada rumah.
"Di tempatku buat perjanjian, kalau rumahnya sampai rusak, yang punya ‘sound’ harus memperbaiki…” ujar salah satu warga.
Keluhan juga datang dari sisi kesehatan dan lingkungan: bukan hanya risiko gangguan pendengaran manusia, tetapi juga potensi terganggunya ekosistem alam. Seorang guru besar IPB University bahkan mengingatkan bahwa frekuensi rendah dari sound system dapat berdampak negatif pada ekosistem laut.
Sementara itu, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paparan suara dengan intensitas lebih dari 100–120 desibel dalam waktu singkat dapat menyebabkan kerusakan pendengaran permanen. Rekaman lapangan yang saya amati menunjukkan bahwa sound horeg dapat dengan mudah mencapai 125 desibel dalam radius beberapa meter.
Negosiasi ‘sound horeg’
Saat negara mulai mempertimbangkan pengakuan terhadap sound horeg, respons dari daerah-daerah pun beragam—menggambarkan ketegangan yang belum tuntas. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, misalnya, bupati telah mengeluarkan larangan resmi terhadap penggunaan sound horeg dalam acara keramaian, dengan dalih menjaga ketertiban umum.
Namun, larangan ini telah resmi dicabut setelah dilakukan mediasi antara Pemerintah Kabupaten Pati, Kapolresta Pati dan perwakilan pengusaha sound system di Pati.
Ketegangan ini bahkan merambah ranah agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, telah menyurati aparat kepolisian terkait keresahan moral akibat sound horeg. Dalam responsnya, polres menyatakan akan mengevaluasi praktik ini secara serius, mengindikasikan bahwa kontrol terhadap suara kini meluas ke wilayah etika dan keagamaan.
Namun di tempat lain, pendekatan yang lebih partisipatif mulai dicoba. Di Bondowoso, Jawa Timur, misalnya, Pemkab dan Polres tengah merancang regulasi bersama yang mempertimbangkan kebutuhan komunitas lokal, bukan sekadar pelarangan.
Kolaborasi dan literasi
Masa depan sound horeg dan suara rakyat pada umumnya akan sangat ditentukan oleh bagaimana negara memilih untuk bersikap: sebagai penegak ketertiban semata, atau sebagai mitra dalam merawat ekspresi budaya.
Pelestarian sound horeg tidak harus berarti pembiaran total. Justru, negara dan komunitas dapat berkolaborasi menciptakan ruang ekspresi yang aman, terukur, dan tidak merugikan warga sekitar maupun lingkungan. Salah satu caranya adalah dengan merumuskan regulasi yang mengatur intensitas bunyi, durasi, dan zonasi penggunaan sound system, sebagaimana diterapkan di sejumlah negara lain.
Di Jepang, misalnya, pemerintah daerah menggunakan payung hukum untuk membatasi suara di ruang publik—termasuk musik dengan pengeras suara—melalui aturan jam malam, larangan penggunaan pengeras suara, dan batas ambang desibel.
Sementara di Berlin, Jerman, kawasan alternatif seperti Mauerpark dikelola sebagai zona musik publik yang ramah bagi semua pihak. Alih-alih melarang, kota ini mengusulkan solusi kreatif berupa “Acoustic Shells”—struktur yang mengarahkan suara agar tetap fokus pada area pertunjukan dan mengurangi polusi suara ke lingkungan sekitar. Dengan pendekatan ini, musisi tetap dapat berekspresi secara bebas tanpa mengorbankan ketenangan warga.
Indonesia pun bisa merancang model serupa: bukan dengan melarang sound horeg, tetapi dengan mendudukkannya sebagai bagian sah dari ekologi suara urban yang setara.
Selain itu, sound horeg membutuhkan regulasi berbasis komunitas yang melibatkan musyawarah lokal, bukan larangan dari aparat.
Literasi suara perlu dikembangkan agar masyarakat memahami dampak fisiologis dan psikososial dari paparan bunyi ekstrem. Dokumentasi dan pengarsipan digital juga penting agar sound horeg tidak hanya dipahami sebagai gangguan temporer, tapi sebagai artefak budaya yang mencerminkan zaman.

Informacion mbi burimin dhe përkthimin
Ky artikull është përkthyer automatikisht në shqip duke përdorur teknologjinë e avancuar të inteligjencës artificiale.
Burimi origjinal: theconversation.com