Tak boleh ada pengecualian, seluruh izin tambang di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil harus dicabut
● Aktivitas tambang di pulau kecil seperti Raja Ampat bertentangan dengan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
● Pengecualian terhadap PT Gag Nikel mencerminkaan inkonsistensi penegakan hukum.
● Seluruh izin tambang di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil harus dicabut tanpa terkecuali.
Surga biodiversitas laut dunia, Raja Ampat, kini terancam oleh tambang nikel. Legalitas izin tambang di wilayah ini—seperti juga di pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia—dipertanyakan, karena bertentangan dengan undang-undang.
Setelah kampanye gerakan #SaveRajaAmpat viral dan mendapat perhatian publik luas, pemerintah bereaksi mencabut izin empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, yakni PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham. Sementara, PT Gag Nikel dikecualikan dan masih boleh beroperasi.
Kasus ini menjadi preseden buruk dan mencerminkan bukti lemahnya penegakan hukum serta memperlihatkan sikap negara yang cenderung membiarkan kerusakan lingkungan terjadi.
Dasar hukum larangan tambang di pulau kecil
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ‘pulau kecil’ adalah pulau dengan luas kurang dari 2.000 km² (kilometer persegi).
Pasal 35 huruf K UU PW3PK tersebut menyatakan bahwa “Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang, baik secara langsung maupun tidak langsung, dilarang melakukan pertambangan mineral di wilayah yang secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/ atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitar.”
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 memperkuat memperkuat posisi hukum ini. MK menyatakan bahwa aktivitas tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil bisa menimbulkan kerusakan yang tidak bisa pulih (irreversible), melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi. Sehingga, seluruh kegiatan pertambangan di kawasan tersebut harus dilarang secara mutlak tanpa syarat.
Mengapa PT Gag Nikel dikecualikan?
Pengecualian terhadap PT Gag Nikel lantas menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa satu perusahaan diberi ‘lampu hijau’ untuk terus beroperasi?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia beralasan bahwa pemerintah mempertahankan izin tambang PT.Gag Nikel karena perusahaan tersebut dinilai memenuhi syarat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Jika ditilik lebih dalam, perusahaan tersebut ternyata punya latar belakang istimewa: saham mayoritasnya dimiliki PT Antam Tbk. Antam sebelumnya adalah perusahaan BUMN, sebelum kemudian seluruh saham pemerintah dialihkan ke MIND ID yang berstatus holding BUMN pertambangan.
Posisi ini menimbulkan kecurigaan akan konflik kepentingan. Negara seharusnya tidak tebang pilih, apalagi dalam isu yang menyangkut keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat.
Dalam konsep hukum, kita mengenal asas hukum lex specialist derogate lex generalis, di mana aturan hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan atau mengalahkan aturan hukum yang bersifat umum (lex generalis) ketika keduanya mengatur materi yang sama.
Oleh karena itu, meskipun PT Gag Nikel memegang IUP berdasarkan UU Minerba, pemerintah seharusnya tetap memakai UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai acuan.
Argumen pemerintah yang menggunakan UU Pertambangan harus dikesampingkan dan mendahulukan UU PW3PK. Hal ini sejalan dengan asas Salus populi suprema lex esto, yakni bahwa keselamatan manusia (dan tentu keselamatan ekologis) adalah hukum tertinggi.
Kekerasan dan diskriminasi berulang di Papua
Baik Gubernur Papua Barat Daya maupun Bupati Raja Ampat, menyebut bahwa warga Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, menolak penutupan tambang karena dianggap menyejahterakan kehidupan masyarakat.
Namun, perlu dicermati bahwa masyarakat adat menandatangani persetujuan tanpa keterlibatan pemerintah daerah. Seharusnya, pemerintah setempat dilibatkan untuk mendampingi dan memberikan informasi utuh sebelum masyarakat mengambil keputusan penting.
Setelah itu, masyarakat asli Papua harus diberi kebebasan dalam menentukan nasibnya, sehingga tujuan dari pembangunan termasuk pada isu pertambangan bersifat partisipatoris dan bermakna.
Salah satu alasan masyarakat masih mendukung aktivitas tambang adalah karena mereka belum merasakan dampak pencemaran secara langsung. Sebagian besar air laut dinilai masih jernih, padahal kerusakan ekologis sering kali baru tampak setelah bertahun-tahun.
Papua memiliki sejarah panjang dengan ketimpangan, kekerasan, dan diskriminasi struktural. Kekerasan ini berakar dari diskriminasi rasial yang sering dialami warga Papua.
Wilayah yang kaya akan sumber daya kerap menjadi ladang eksploitasi, dengan akses ekonomi-politik yang sangat ditentukan oleh perspektif Jakarta-sentris.
Ketimpangan relasi kuasa antara pemerintah, korporasi, dan masyarakat lokal, semakin nyata. Dalam banyak kasus, keputusan besar diambil oleh mereka yang berada di lingkar kekuasaan dan pemilik modal, tidak memedulikan komunitas yang terdampak langsung,
Dalam sistem yang dikuasai oligarki, kekuasaan digunakan untuk memperkuat dominasi dan melanggengkan kepentingan ekonomi, bahkan jika harus mengorbankan ekosistem yang rapuh.
Cabut seluruh izin tambang di pulau kecil
Pengecualian terhadap PT Gag Nikel mencerminkan inkonsistensi negara dalam menegakkan hukum dan HAM serta memberikan ruang bagi praktik impunitas bagi pelaku perusakan lingkungan.
Kasus di Raja Ampat semestinya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi ulang izin tambang di wilayah konservasi dan pulau kecil. Menurut catatan Walhi, terdapat 248 IUP di 43 pulau kecil di Indonesia.
Ekosistem daratan dan lautan yang menjadi hak ruang hidup masyarakat sekitar harus dikembalikan, karena di sana hidup komunitas adat dengan warisan budaya leluhur yang telah terjaga selama bertahun-tahun.
Pulau kecil tidak memiliki area penyangga, dan ekosistemnya sangat rentan. Sekali rusak, akan sulit dipulihkan. Ancaman itu makin besar di tengah krisis iklim. Kajian perusahaan riset asal Inggris, Verisk Maplecroft, memperkirakan 1.500 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam pada 2050 seiring dengan kenaikan permukaan laut. Kondisi ini membuat perlindungan terhadap pulau-pulau kecil semakin mendesak.
Agenda transisi energi yang bertujuan mengurangi emisi dan menghadapi krisis iklim tidak boleh dibayar mahal dengan kerusakan lingkungan yang justru memperparah krisis itu sendiri. Nikel memang penting sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik, tetapi logika “menghijaukan” dunia dengan merusak alam, terutama ekosistem yang rentan seperti pulau-pulau kecil adalah kontradiktif dan tidak berkelanjutan.
Transisi energi sejati harus berpihak pada keadilan ekologis—yakni mendorong energi bersih tanpa mengorbankan ruang hidup masyarakat dan alam yang selama ini menjadi penyangga kehidupan.

Informacion mbi burimin dhe përkthimin
Ky artikull është përkthyer automatikisht në shqip duke përdorur teknologjinë e avancuar të inteligjencës artificiale.
Burimi origjinal: theconversation.com